Chairul Tanjung, Besar dari Jasa Fotokopi
Tribunnews.com - Senin, 2 Juli 2012 21:10 WIB
Chairul Tanjung
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
- Sosok pengusaha nasional Chairul Tandjung bisa jadi baru mencuat
namanya saat mendirikan Bank Mega dan membuat stasiun televisi Trans TV.
Tidak semua orang tahu, bahwa ia mengawali belajar bisnis ketika waktu
kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
Berlantarbelakang dari keluarga kurang berada, Chairul Tanjung muda memang harus berjuang sendiri membiayai kuliahnya sendiri. Uang yang digunakan untuk masuk kuliah sendiri diperoleh setelah ibunya, Halimah mengadaikan kain halus. Itupun baru diketahui CT setelah menjalani proses kuliah.
"Jadi saya jadi pengusaha bukan karena pendidikan, bukan karena keturunan orang kaya. . Jadi pengusaha karena terpaksa membiayai sekolah sendiri cari uang untuk kuliah," papar CT saat meluncurkan bukunya di toko buku Gramedia Matraman, Senin (2/7/2012).
Berawal dari kebiasaan mahasiswa yang ketika itu harus fotocopy diktat praktikum dari dosen yang rata-rata harus keluarkan Rp 500 untuk fotocopy 20 lembar buku dikat di kawasan Salemba.
Nah, CT mencari peluang dengan mencari fotocopy yang berani dengan harga rendah. Beruntung dia punya teman yang berani hanya Rp 150 per 20 lembar. Lantas buku diktat itu dijual seharga Rp 300. Dan laris manis.
"Di hari pertama itu, saya berhasil menjual 100 buku diktat sehingga memperoleh untung Rp 15 ribu. Uang itu menjadi awal kebangkitan. Dari situ untuk mendapatkan puluhan ribu, ratusan bahkan sampai jutaan terasa lebih mudah," paparnya.
Setelah kuliah selesai tahun 1987, dirinya bersama dengan salah seorang rekannya menekuni bisnis dengan membuat CV yang memproduksi sepatu berkembang. Ia mengawalinya dengan meminjam uang Rp 150 juta. Perusahaan berkembang menjadi lima pabrik di bawah induk bernama Para Grup.
Tahun 1995, CT telah memiliki perusahaan Para Multi Finance, di samping mengerjakaan proyek real estate dengan membangun Bandung Super Mall. Usahanya terus berkembang dengan memiliki Bank Mega, Trans TV dan sebagainya.
Lantas bagaimana agar usaha bisa berlangsung sukses? "Kalau ingin berusaha jangan terlalu banyak mikir itung, banyak renacana. Karena rencana jadi bisnis enggak jadi. Jadi pengusaha yakin saja Just Do It lakun saja. Gagal tidak apa-apa. Gagal enggak dosa, bukan hal yang memalukan. Yang penting jangan sampai gagal di lobang yang sama," sarannya.
Dikatakannya tidak sekolah bisa jadi pengusaha. Tidak jaminan sekolah jadi pengusaha. Tapi kemungkinan pengusaha bisa sukses lebih besar dibandingkan tidak sekolah. Jadi sekolah penting.
Lantas mengapa dirinya lebih suka mengakusisi dibandingkan dengan membangun bisnis? "Akusisi perusahaan membuat sinergi memperluas ladang usaha. Waktu saya memulai banyak waktu tapi enggak punya uang. Mulai dari nol. Lama-lama jadi besar punya uang, tidak punya waktu. Maka yang dilakukan tidak perlu bangun tapi mengakusisi," akunya.
Meski berjaya di berbagai usaha, CT mempunyai satu pronsip yang selalu dipegangnya. Filosofi bisnis itu satu jangan serakah. Pengen kuasai A-Z. Itulah mengapa saat ada keinginan beberapa orang untuk membangun produk air minum dalam kemasan ia tolak.
"Jangan semua dikerjain sendiri dibagikan dengan yang lain. Fokusa saja dimana kita jadi jawara di Indonesia atau internasional," paparnya.
Terkait dengan peluncuran bukunya Chairul Tanjung Si Anak Singkong, ia mengemukakan
apa yang dibuatnya merupakan akumulasi dari masa lalu. Buku bisa menjadi sharing generasi muda, bisa dipelajari yang positif.
"Ambil yang positif-positifnya saja. Nantinya, 20-30 th mendatang akan mucul jadi CT-CT baru yang akan membuka 75 juta lapangan kerja karena saat ini saja karyawan CT Corps sudah mencapai 75 ribu orang," paparnya.
Penyusun buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Tjanja Gunawan Direja menilai sosok CT pengusaha yang dibesarkan jamannya tanpa adanya pemberian fasilitas pemerintah ataupun proteksi pemerintah. CT melakukan secara detail dan selalu melakukan yang terbaik.
Berlantarbelakang dari keluarga kurang berada, Chairul Tanjung muda memang harus berjuang sendiri membiayai kuliahnya sendiri. Uang yang digunakan untuk masuk kuliah sendiri diperoleh setelah ibunya, Halimah mengadaikan kain halus. Itupun baru diketahui CT setelah menjalani proses kuliah.
"Jadi saya jadi pengusaha bukan karena pendidikan, bukan karena keturunan orang kaya. . Jadi pengusaha karena terpaksa membiayai sekolah sendiri cari uang untuk kuliah," papar CT saat meluncurkan bukunya di toko buku Gramedia Matraman, Senin (2/7/2012).
Berawal dari kebiasaan mahasiswa yang ketika itu harus fotocopy diktat praktikum dari dosen yang rata-rata harus keluarkan Rp 500 untuk fotocopy 20 lembar buku dikat di kawasan Salemba.
Nah, CT mencari peluang dengan mencari fotocopy yang berani dengan harga rendah. Beruntung dia punya teman yang berani hanya Rp 150 per 20 lembar. Lantas buku diktat itu dijual seharga Rp 300. Dan laris manis.
"Di hari pertama itu, saya berhasil menjual 100 buku diktat sehingga memperoleh untung Rp 15 ribu. Uang itu menjadi awal kebangkitan. Dari situ untuk mendapatkan puluhan ribu, ratusan bahkan sampai jutaan terasa lebih mudah," paparnya.
Setelah kuliah selesai tahun 1987, dirinya bersama dengan salah seorang rekannya menekuni bisnis dengan membuat CV yang memproduksi sepatu berkembang. Ia mengawalinya dengan meminjam uang Rp 150 juta. Perusahaan berkembang menjadi lima pabrik di bawah induk bernama Para Grup.
Tahun 1995, CT telah memiliki perusahaan Para Multi Finance, di samping mengerjakaan proyek real estate dengan membangun Bandung Super Mall. Usahanya terus berkembang dengan memiliki Bank Mega, Trans TV dan sebagainya.
Lantas bagaimana agar usaha bisa berlangsung sukses? "Kalau ingin berusaha jangan terlalu banyak mikir itung, banyak renacana. Karena rencana jadi bisnis enggak jadi. Jadi pengusaha yakin saja Just Do It lakun saja. Gagal tidak apa-apa. Gagal enggak dosa, bukan hal yang memalukan. Yang penting jangan sampai gagal di lobang yang sama," sarannya.
Dikatakannya tidak sekolah bisa jadi pengusaha. Tidak jaminan sekolah jadi pengusaha. Tapi kemungkinan pengusaha bisa sukses lebih besar dibandingkan tidak sekolah. Jadi sekolah penting.
Lantas mengapa dirinya lebih suka mengakusisi dibandingkan dengan membangun bisnis? "Akusisi perusahaan membuat sinergi memperluas ladang usaha. Waktu saya memulai banyak waktu tapi enggak punya uang. Mulai dari nol. Lama-lama jadi besar punya uang, tidak punya waktu. Maka yang dilakukan tidak perlu bangun tapi mengakusisi," akunya.
Meski berjaya di berbagai usaha, CT mempunyai satu pronsip yang selalu dipegangnya. Filosofi bisnis itu satu jangan serakah. Pengen kuasai A-Z. Itulah mengapa saat ada keinginan beberapa orang untuk membangun produk air minum dalam kemasan ia tolak.
"Jangan semua dikerjain sendiri dibagikan dengan yang lain. Fokusa saja dimana kita jadi jawara di Indonesia atau internasional," paparnya.
Terkait dengan peluncuran bukunya Chairul Tanjung Si Anak Singkong, ia mengemukakan
apa yang dibuatnya merupakan akumulasi dari masa lalu. Buku bisa menjadi sharing generasi muda, bisa dipelajari yang positif.
"Ambil yang positif-positifnya saja. Nantinya, 20-30 th mendatang akan mucul jadi CT-CT baru yang akan membuka 75 juta lapangan kerja karena saat ini saja karyawan CT Corps sudah mencapai 75 ribu orang," paparnya.
Penyusun buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Tjanja Gunawan Direja menilai sosok CT pengusaha yang dibesarkan jamannya tanpa adanya pemberian fasilitas pemerintah ataupun proteksi pemerintah. CT melakukan secara detail dan selalu melakukan yang terbaik.
0 comments:
Post a Comment